3 weeks ago · Updated 3 weeks ago

Di atas kertas, semua pelaku usaha ingin akun media sosialnya terlihat bersih, rapi, dan estetis. Pokoknya, kalau bisa, feed Instagram seperti galeri seni modern. Warna seragam, layout tertata, dan semua elemen visual saling melengkapi. Harapannya, brand tampak berkelas. Namun, ada satu hal yang sering luput: estetika itu soal selera, bukan rumus baku. Yang bersih belum tentu estetik, dan yang estetik belum tentu menarik perhatian.
Mari kita lihat bagaimana industri keuangan dulu bermain di media sosial. Sebelum fintech merajalela, bank dan institusi keuangan lebih suka tampil serius dan konservatif. Kontennya dipenuhi angka, tabel, dan grafik yang dominan biru dan abu-abu. Tulisan kecil? Tidak masalah, yang penting lengkap. Mau ribet? Silakan zoom in. Intinya, informasi harus tersampaikan, tanpa perlu memikirkan apakah audiens menikmatinya atau tidak.
Lalu datanglah fintech seperti Bibit yang menabrak semua pakem ini. Alih-alih tampil serius, Bibit justru memilih pendekatan yang santai, bahkan cenderung main-main. Tulisannya besar, pesannya singkat, dan kalau perlu, diselipkan meme yang mengundang tawa. Bukannya membuat orang berpikir keras, Bibit justru ingin audiensnya merasa, "Oh, ternyata investasi itu gampang!" Sebuah strategi yang bertolak belakang dengan pendekatan klasik industri keuangan.
Fenomena serupa terjadi di industri lain. Lihat saja brand skincare seperti Somethinc atau Avoskin. Dulu, produk kecantikan dikemas dengan gaya elegan dan premium ala brand luar negeri. Namun, kini brand lokal berani tampil dengan warna-warna mencolok, ilustrasi nyeleneh, dan bahasa yang lebih akrab dengan generasi muda. Kenapa? Karena mereka paham, yang dibutuhkan bukan sekadar produk bagus, tapi juga cara komunikasi yang sesuai dengan audiens.
Pelajaran pentingnya? Di era digital, estetika tidak bisa dipandang semata-mata sebagai beauty standard ala desainer grafis. Estetika juga harus berfungsi. Konten yang terlalu rapi justru bisa terasa dingin dan kaku. Sebaliknya, konten yang lebih cair, humoris, dan komunikatif bisa lebih dekat dengan audiens, meskipun tampilannya tidak seapik galeri seni.
Jadi, kalau Anda ingin brand yang stand out, jangan hanya sibuk mengejar estetika. Tanyakan juga: apakah konten Anda cukup menarik untuk membuat orang berhenti scrolling? Jika jawabannya tidak, mungkin sudah saatnya berpikir ulang soal strategi komunikasi visual Anda. Bagaimanapun, di dunia digital yang serba cepat, perhatian adalah mata uang paling berharga.
Konten Produk dan Konten Non-Produk
Zona konten itu sederhana: ada konten produk dan ada konten non-produk. Nah, yang sering jadi masalah adalah kita terlalu sibuk mikirin konten produk sampai lupa bahwa orang bukan cuma beli barang, tapi juga beli pengalaman, emosi, dan cerita di baliknya.
Coba perhatikan. Konten produk itu memang penting, kita mau menampilkan keunggulan produk, memastikan orang tahu bahwa ini solusi terbaik untuk masalah mereka. Tapi, ada jebakan di sini! Karena ingin terlihat sempurna, pemilik brand sering terlalu dominan dalam mengatur kontennya. Akhirnya, yang terjadi adalah perang selera antara pemilik brand, desainer, dan penulis konten. Dan kalau sudah begini, yang menang biasanya pemilik brand. Hasilnya? Konten jadi monoton, membosankan, dan terlalu "brand-centric."
Ambil contoh, sebuah brand skincare yang ingin menampilkan betapa efektifnya produk mereka. Desainer bikin visual yang clean, copywriter menulis manfaat dengan bahasa yang persuasif. Eh, tapi pemilik brand bilang, "Ganti warna, aku lebih suka biru! Tambahin efek glowing, biar kayak bintang iklan!" Akhirnya, konten lebih sesuai selera pemilik brand ketimbang selera audiens. Yang terjadi? engagement rendah, audiens bingung, dan konversi pun jeblok.
Lebih parahnya lagi, kalau pemilik brand merasa sudah paham segalanya, agensi kreatif cuma dianggap sebagai eksekutor, bukan partner. Padahal, kalau dibiarkan berkreasi, mereka bisa menciptakan sesuatu yang jauh lebih engaging. Tapi karena dianggap cost center, bukan value creator, biaya produksi ditekan serendah mungkin. Yang penting ada konten, urusan apakah menarik atau tidak, itu nomor sekian.
Lihat Dental Jaya Indo. Mereka paham bahwa konten bukan hanya soal produk. Mereka sering menampilkan bagaimana tim mereka bekerja, keseharian di klinik, bahkan cerita konyol dari pasien yang pertama kali datang buat scaling gigi dan panik karena bunyi alatnya. Apa yang terjadi? Audiens merasa dekat, merasa brand ini bukan hanya jualan, tapi juga memahami mereka.
Begini, algoritma media sosial suka dengan interaksi. Semakin tinggi engagement, semakin sering konten muncul di feed orang-orang. Artinya, kalau brand hanya fokus ke konten produk, yang seringkali kaku dan terlalu "jualan," orang malas berinteraksi. Akibatnya? Algoritma juga malas menampilkan kontennya. Tapi kalau brand mulai menampilkan konten yang lebih humanis, lebih dekat dengan keseharian, engagement meningkat, brand awareness naik, dan akhirnya penjualan pun ikut terkerek.
Misalnya, brand kopi lokal yang bukan cuma posting tentang betapa nikmatnya kopi mereka, tapi juga cerita tentang baristanya yang dulu kerja kantoran tapi akhirnya memilih mengejar passion di dunia kopi. Atau cerita tentang pelanggan setia mereka yang selalu datang jam 7 pagi dan duduk di pojokan sambil baca buku. Konten seperti ini lebih berkesan, lebih relatable, dan membuat orang ingin ikut terlibat.
Intinya, konten tidak melulu soal produk. Justru, semakin brand bisa membangun hubungan yang hangat dengan audiens, semakin kuat ikatan emosional yang terbentuk. Dan kalau sudah begitu, ketika brand akhirnya menawarkan produk, audiens akan lebih tertarik untuk membeli. Karena mereka sudah merasa bagian dari cerita brand tersebut.
Optimalisasi Konten
Sering kali, solusi yang ditawarkan untuk memperbaiki kualitas konten berujung pada pembentukan tim baru atau penambahan tugas yang tidak sedikit. Biasanya, semuanya baru akan berjalan jika materi sudah siap. Padahal, dalam banyak kasus, langkah terbaik bukanlah menambah beban, melainkan mengoptimalkan sumber daya yang sudah ada. Tidak perlu membentuk tim baru atau membeli perangkat konten yang serba canggih.
Hal paling fundamental adalah mengoptimalkan sumber daya dan menyempurnakan proses pembuatan konten. Dengan menata ulang alur kerja—misalnya dengan menyederhanakan tanpa banyak mempertimbangkan faktor di luar tujuan utama—efisiensi bisa meningkat. Coba perhatikan kembali, banyak konten viral dari brand besar yang justru tampil dalam format sederhana, tanpa harus menggunakan produksi rumit atau anggaran besar.
Fenomena Ci Mehong dengan kue lapis legitnya bisa menjadi contoh nyata. Konten yang dibuatnya begitu sederhana, namun justru berdampak lebih besar dibandingkan promosi dari brand-brand besar. Mengapa? Karena ada keaslian, kedekatan emosional, dan narasi yang kuat. Hal inilah yang sering dilupakan oleh banyak perusahaan ketika ingin membangun konten—mereka terlalu sibuk dengan tampilan visual tanpa memahami kekuatan cerita di baliknya.
Seperti yang dialami oleh tim Kreatif Digi saat mendapat tantangan dari sebuah brand yang merasa memiliki banyak aktivitas menarik, tetapi kesulitan mengemasnya menjadi konten yang menggugah. Banyak momen krusial yang seharusnya bisa membangun awareness terhadap brand, tetapi tidak terdokumentasikan dengan baik. Akibatnya, meskipun penjualan stabil karena masih mengandalkan prospek rekomendasi, brand ini tetap gagal menarik calon pelanggan baru secara organik.
Tim Kreatif Digi tidak serta-merta mengajukan solusi yang kompleks. Mereka hanya meminta akses ke berbagai kegiatan perusahaan seperti training calon pelanggan, seminar, pameran, dan uji coba produk. Dengan merekam langsung aktivitas di lapangan, mereka berhasil mengolahnya menjadi konten yang lebih bernyawa. Hasilnya? Konsistensi konten brand terjaga, daya tariknya meningkat, dan interaksi audiens pun melonjak drastis. Bukan sekadar desain yang rapi atau permainan software canggih, tetapi konten yang hidup karena menampilkan realitas.
Bahkan, laporan dari tim konten menunjukkan bahwa dua konten yang dihasilkan berhasil mendapatkan interaksi terbesar sepanjang sejarah brand tersebut. Keberhasilan ini bukan sekadar soal visual yang menarik, tetapi karena manajemen akhirnya membuka akses bagi tim kreatif untuk benar-benar menyelami ekosistem perusahaan. Tanpa intervensi berlebihan, mereka bisa menangkap esensi yang selama ini luput dari perhatian.
Kesimpulannya, membangun konten yang efektif bukan soal investasi besar-besaran dalam produksi, melainkan soal strategi. Banyak brand berpikir bahwa solusi terbaik adalah menambah tim atau teknologi canggih, padahal kunci utamanya adalah mengoptimalkan sumber daya yang sudah ada dengan pendekatan yang lebih tajam dan autentik.
Kedua, brand harus menyadari bahwa audiens saat ini lebih tertarik pada konten yang jujur, bukan yang hanya sekadar estetik. Kejujuran dalam konten tidak bisa direkayasa. Keaslian, keterlibatan langsung, dan dokumentasi real-time adalah senjata ampuh dalam membangun hubungan emosional dengan audiens.
Ketiga, manajemen harus memberikan kepercayaan lebih kepada tim kreatif untuk terjun langsung ke lapangan. Konten yang sukses bukanlah hasil dari instruksi satu arah, tetapi dari eksplorasi mendalam terhadap apa yang benar-benar terjadi di dalam perusahaan. Inilah yang membangun kredibilitas brand secara organik.
Terakhir, konsistensi adalah kunci. Tidak ada yang instan dalam dunia digital. Keberhasilan membangun konten yang menarik bukanlah soal satu atau dua unggahan viral, melainkan komitmen jangka panjang dalam menyajikan narasi yang relevan, emosional, dan bernilai bagi audiens. Dengan begitu, brand tidak hanya menarik perhatian sesaat, tetapi juga membangun loyalitas jangka panjang.
Artikel ditulis oleh :
Selamat Datang Kepada Calon Klien di Kreatif Digi, yang Melayani Industri Kesehatan yang selalu Berkembang.
Jika Anda ingin tahu artikel lain yang serupa dengan Menghidupkan Konten Brand dari Sekedar Bersih dan Estetik, Anda bisa mengunjungi kategori Insight.
Artikel Terkait